0
Home  ›  Artikel  ›  Muamalah

MENYEWAKAN LAHAN UNTUK BISNIS RESTORAN, DENGAN BAGI HASIL BERDASARKAN PRINSIP REVENUE SHARING


bisnis restoran

Tanya :
Assalamualaikum, Ustadz. Semoga Ustadz senantiasa diberikan kesehatan, keselamatan dan keberkahan dari Allah Azza Wa Jalla. Aamiin ya Rab. Izin Ustadz saya ingin bertanya akad sewa (ijārah) lahan untuk bisnis restaurant, bolehkah pemilik lahan menerapkan akad sewa dengan sistem revenue sharing (pendapatan kotor di luar biaya-biaya operasional) ? Jadi biaya fixed sewa lahan tidak ada, tapi sewa lahan dihitung misalnya 10% dari pendapatan/sales kotor restaurant per bulan? Jazakallah Khairan 🙏 (Emil Dharma, Jakarta).

Jawab :
Wa 'alaikumus salam wr. wb.

Tidak boleh sewa lahan dengan ketentuan bahwa ongkos sewanya didasarkan pada prinsip revenue sharing seperti yang ditanyakan di atas. Ketidakbolehannya berdasarkan 2 (dua) alasan sebagai berikut :

Pertama, karena penentuan ujrah (ongkos sewa) dengan cara revenue sharing tersebut, bertentangan dengan penentuan ujrah dalam akad ijarah, yaitu harus berupa jumlah nominal yang tetap (flat) dalam jangka tertentu, agar terwujud ma'lūumiyyah (kejelasan) mengenai besarnya ujrah, dan tidak ada unsur jahālah, atau ketidak jelasan besarnya ujrah. Misalnya, ditetapkan ongkos sewa lahannya 10 juta rupiah per tahun.

Dalil syara' bahwa penetapan ujrah wajib dalam bentuk jumlah nominal yang tertentu, adalah sabda Rasulullah SAW :

مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ

”Barangsiapa mempekerjakan seorang pekerja, maka hendaklah dia memberitahukan kepadanya berapa upahnya.” (manista`jara ajīran falyu’limhu ajrahu). (HR. Al-Daraquthni, lihat Imam Ibnu Hajar Al-Asqalāni, Al-Talkhīsh Al-Habīr, 1/168). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fī Al-Islām, hlm. 90-91).

Kedua, prinsip bagi hasil berdasarkan revenue sharing tersebut, juga bertentangan dengan prinsip bagi hasil yang sah dalam syirkah Islami, yaitu profit sharing (bagi laba), bukan revenue sharing (bagi pendapatan kotor).

Dalil bahwa bagi hasil yang syar’i itu basisnya profit sharing (pembagian laba), bukan revenue sharing, adalah riwayat Ali bin Abi Thalib RA yang pernah menjelaskan prinsip bagi hasil syirkah dengan berkata :

الْوَضِيعَةُ عَلَى الْمَالِ وَالرِّبْحُ عَلَى مَااصْطَلَحُوْا عَلَيْهِ

”Kerugian ditanggung oleh pemodal, sedangkan keuntungan (ar-ribhu, profit) dibagi berdasarkan kesepakatan.” (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî Al-Islâm, hlm. 148).  

Jadi, jelas dari nash (teks) riwayat tersebut, bahwa yang dibagihasilkan dalam syirkah itu adalah profit (Arab : ar-ribhu), bukan pendapatan (revenue, Arab : ad-dakhl/al-wârid).


Solusinya, bisa dipilih dari dua alternatif sbb :

Pertama, akad sewa lahan tersebut menerapkan hukum ijāratul a'yān (sewa benda) apa adanya, yaitu biaya sewanya ditetapkan secara nominal dan flat untuk jangka waktu tertentu, misal Rp 10 juta per tahun, tanpa dikaitkan dengan untung ruginya mitra yang berbisnis restoran di atas lahan itu.

Kedua, boleh pemilik lahan menggunakan akad syirkah mudhārabah dengan pebisnis restoran, dengan memenuhi segala rukun dan syarat syirkah mudhārabah, dengan memperhatikan 2 (dua) syarat penting di antaranya, yaitu:

Syarat pertama, lahan tersebut dijadikan modal syirkah, dengan menyebutkan nilainya pada saat akad syirkah (ijab dan kabul syirkah). Misalnya pemilik lahan mengucapkan ijab kepada mitranya pebisnis restoran, "Saya ber-syirkah mudhārabah dengan Anda, dengan modal lahan ini yang nilainya 1 miliar rupiah untuk usaha restoran." Lalu pihak pebisnis restoran mengucapkan kabul dengan berkata,”Saya terima syirkahnya.” Jika nilai rupiah tidak disebut pada saat akad, maka akad syirkahnya batal (tidak sah). (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî Al-Islâm, hlm. 150).  

Dan yang wajib dipahami, ketika lahan dijadikan modal dalam syirkah, pemilik lahan harus siap jika terjadi risiko kerugian yang mengakibatkan hilangnya modal (termasuk lahan). Ini berbeda dengan akad sewa, yang sama sekali tidak mengandung risiko hilangnya lahan. Jadi dalam Islam itu, ada prinsip syariah bahwa berangsiapa yang menginginkan keuntungan, maka dia harus siap menanggung beban atau risiko kerugian, sesuai hadits Nabi SAW yang sekaligus menjadi kaidah fiqih (qawā’id fiqhiyyah) yang berbunyi :

اَلْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

Al-Kharāju bi Al-Dhamān. “Segala bentuk keuntungan, diimbangi dengan beban/risiko.” (Eng : no gain without pain/risk). (HR. Ibnu Majah no. 2234, At-Tirmidzi, no. 1206).

Syarat kedua, prinsip bagi hasil dalam syirkah mudhārabah tersebut, wajib menggunakan prinsip profit sharing, bukan revenue sharing. Dalilnya riwayat dari Ali bin Abi Thalib RA yang sudah disebutkan sebelumnya. Sedangkan bagi rugi (loss sharing), jika pemodalnya berasal dari dua belah pihak, dibagi berdasarkan persentase modal dari masing-masing pihak (antara pemilik lahan dengan pebisnis restoran). Dalam masalah ini Imam Malik RA berkata :

اَلْوَضِيْعَةُ عَلىَ قَدْرِ رُؤُوْسِ أَمْوَالِهِمَا

“Kerugian dibagi sesuai besarnya persentase modal dari kedua belah pihak.” (Imam Malik, Al-Mudawwanah Al-Kubrā, Juz III, hlm. 609). Wallāhu a’lam.


Tual, 31 Januari 2024
KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Sumber Tulisan

Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share
Additional JS