Nasihat Finansial Pada Syariat Zakat Maal
Oleh: Ust. Rendy Saputra
Ketika mendalami syariat zakat maal, saya jadi curiga dengan ilmu akuntansi modern. Nampaknya penemu awal balance sheet di abad 15 masehi, Luca Pacioli, sangat terpengaruhi dengan neraca amil zakat yang sudah ada sejak abad 7 masehi.
Mengapa saya bisa menerka demikian, karena kaidah neraca keuangan atau yang dalam istilah standard akuntansi internasional disebut "balance sheet", itu mirip banget sama pengkategorian harta kena zakat.
Maimun Bin Mihran wafat 117H, merupakan ulama tabi'in yang hidup bersama sahabat Nabi. Melihat dengan jelas praktek penarikan zakat di zaman sahabat. Lalu Ubaid Al Qasim dalam kitab Al Amwal mengutip pernyataan Maimun bin Mihran ;
Hitunglah uang yang ada, lalu barang dagangan yang Anda jual, ditambah dengan piutang yang dapat anda tagih. Dikurangi dengan hutang yang harus anda bayar dalam waktu dekat (jatuh tempo setahun kedepan). Itulah harta kena zakat, dikali 2,5%.
Didalam neraca, apa yang disebut oleh Maimun bin Mihran ini bernama "Aktiva Lancar". Dan harta lainnya berupa rumah, tanah, mesin, gedung pabrik, peralatan, memang tidak kena zakat, dalam ilmu akuntansi disebut "Aktiva Tetap".
Secara syariat, ketika kawan-kawan pengusaha muslim ingin dihitungkan zakat maalnya, SANGATLAH MUDAH ketika neraca bisnisnya riil time dibuat.
Misalnya Anda menetapkan haul harta Anda di tanggal 27 Ramadhan, ya tinggal minta report neraca di tanggal 27 Ramadhan, sekitar hari jumat atau sabtu ini. Langsung terlihat total aktiva lancarnya, dikurangi hutang jangka pendek di pasiva. Done. Beres.
Dari pencerahan diatas, saya mulai menggali syariat zakat maal, dan mencoba mentadaburi korelasi syariat zakat maal dengan akuntansi, akhirnya fikiran dan hati saya makin kehujanan banyak insight. Insight ini yang saya coba tulis malam ini.
***
Nasehat pertama syariat pada seorang muslim adalah kesadaran harta.
Walau harta kita belum masuk jumlah nishob harta kena zakat maal, tetapi kita harus selalu WASPADA pada neraca harta pribadi. Mengapa? Karena ketika angka nishob tercapai, di tanggal itulah haul kita.
Nishob adalah 85 gr emas. Konsisten. Walau di zaman Nabi emas ini 22 karat, ulama mempersilakan mengikuti harga yang mudah diikuti, yaitu 24 karat. Maka saat tulisan ini ditulis, nishob berada sekitar 102 juta rupiah.
Maka ketika uang, emas, tabungan, emoney, bitcoin, lembar saham portofolio, atau harta lancar akumulasi menyentuh angka 102 juta, maka di tanggal itulah haul harta kita.
Misal tercapai 102 juta rupiah value pada 15 Rabiul Awwal 1446 Hijriyah, maka haul berikutnya tanggal 15 Rabiual Awwal 1447 Hijriyah, dan di tanggal itulah kita membayar zakat maal, dengan evaluasi nilai akumulasi harta pada saat itu.
Menjadi muslim akhirnya tidak boleh ngambang dalam perkara harta. Diinul Islam ini rigid dengan syariat ibadah harta, perhitungannya presisi. Maka sadar harta terlebih dahulu, sebelum sadar zakat.
***
Nasehat finansial kedua ada pada komposisi aktiva lancar
Bayar zakat itu pake maal, pake harta lancar, dan yang paling acceptable ya "uang". Kita menyebutnya cash.
Ketika cash terlalu rendah, sementar stock dagangan terlalu tinggi, dan penjualan dengan tempo tinggi, maka dapat dipastikan seorang muslim akan sulit bayar zakat.
Cash nya cuma 50 juta, stock dagangannya 500 juta (harga pengadaan), piutang jangka pendeknya 450 juta. Maka harta lancarnya 1M. Jika haul terjadi saat posisi neraca seperti ini, zakatnya 25 juta, setengah cadangan cash.
Syariat zakat maal akhirnya mendorong pengusaha muslim untuk "stay liquid". Cash menjadi prioritas pertama seprang pengusaha, bukan malah banyakin stock, atau tinggiin piutang.
Dalam sesi konseling bisnis, saya pernah menemukan klien yang malah hobi berjualan dengan tempo panjang, padahal penjualan basis cashnya juga potensial untuk dikembangkan. Jadi ada kesan senang dengan laporan Profit Loss statement, angka sales tinggi, tapi cash seret.
Syariat zakat maal mendorong Anda untuk senang dengan cash cepat. Berjualan tempo vs cash, pastilah kawan-kawan fokus cash. Walaupun tidak semua industri bisa dibeginikan.
Atau paling tidak, organisasinya sadar piutang, sadar kolektabilitas. Karena zakat maal membeban Account Receivable (AR) dan Inventory (INV).
***
Nasehat finansial ketiga ada pada konsep aktiva tetap.
Berdebat-debat panjang beberapa netizen, yang tidak setuju dengan konsep syariat ; "rumah tidak kena zakat, tanah tidak kena zakat, peralatan tidak kena zakat." ....
Kecuali kalo dia memang jualan rumah, jualan tanah, jualan peralatan yang dimaksud.
Mengapa tidak kena zakat? Inilah hebatnya syariat belasan adab yang lalu.
Nabi tidak membebani zakat pada rumah sahabat, pada kebun kurma sahabat. Sahabat sepeninggal nabi juga demikian. Karena rumah, gedung, tanah, tidak likuid sama sekali.
Ada terorema bahwa beli rumah pasti harga naik, beli ruko pasti harga tinggi. Ilusi teori ini runtuh saat lehman brothers jatuh. Hari ini pun terasa, banyak pengusaha old money, yang punya asset property dimana-mana, tapi susah likuidasi nya, susah ngejualnya, susah ngejadiin cash.
Seorang pengusaha muslim triliuner menyampaikan ke saya dengan lugas,
"Hari ini orang pegang cash ustadz, pada gak mau uangnya mati di asset property, gak likuid, pada kapok beli proeprty."
Kan sudah syariat bilang jauh-jauh hari, memang bukan likuid, siapa suruh simpan duit dalam bentuk aktiva tetap? Hehehehe...
Kalo niatnya fungsional, beli pabrik untuk berproduksi, itu OK. Kalo niat beli rumah karena memang mau ditinggalin, untuk rumah dinas karyawan top manajemen, OK lah. Ada fungsinya. Kalo niat nyimpen uang, syariat zakat maal sudah ngasih kode rabbani, itu bukan harta likuid.
Jadi digimanain ini uang? Ya belikan stock yang lancar-lancar. Beli barang, jual barang. Beli bahan baku, proses, kasih nilai tambah, lalu jual. Disitu nasehat syariat atas diri kita.
Maka konsep bahwa akan ada yang menghindari bayar zakat dengan membelikan rumah, atau mobil, ya belikan lah.... belikan aja gak papa. Pertanyaannya, apa sekarang orang yang punya cash mau beli-beli aktiva tetap? Mereka stay liquid kok.
Ya kasus yang santer hari ini kan, di rumahnya cash-cash an lembar seratusan dollar, 70M lebih, belum logam mulianya. Cash dia mah... hehehehe. Naluri orang kaya sekarang pegang cash, maka insyaAllah nishob semua ini pengusaha muslim. Hehehehe.
***
Tiga nasehat dulu ya, sebenarnya banyak. Tapi bagi-bagi sama waktu ittikaf. Saya qadr i'tikafnya nampak diarahkan Allah terus mengclosing Pengusaha Muslim yang bolak balik nanya.
Jadi pakai neraca saja.
Nah, jika membayar zakat maal adalah wajib, dan membaca datanya harus pakai neraca, maka punya laporan neraca seperti dibawah ini hukumnya "WAJIB".
Mengapa ada AKTIVA? Agar kita tahu posisi asset kita, per detik ini, per snapshot lini waktu tertentu. Ada berapa cash, ada berapa inventory, ada berapa piutang, ada berapa nilai property, equipment, plant.
Mengapa ada PASIVA? Agar kita bisa mengukur, pads total aktiva tersebut, yang mana yang punya orang lain ; LIABILITY. Lalu yang mana punya sendiri : EQUITY.
Pembacaan neraca sekali tatap, memudahkam kita mengerti, berapa harta kena zakat maal, yang dituntut Allah untuk dikeluarkan.
Dan di zaman Sahabat, amil zakat pakai neraca untuk mengaudit harta kaum muslimin satu persatu. Kita saja yang akses literasinya gak kuat, mari sama-sama gali ke kitab Al Amwal abad 2 Hijriah, sama-sama kita gali pada praktik bisnis para sahabat Nabi. Kita akan menemukan keseriusan mereka mendata ini semua.
Tidak mungkin Abu Bakar RA sampai memerangi mereka yang tidak mau membayar zakat, jika harta neraca tidak ketahuan. Lha kok bisa khalifah tahu harta dzhahir kaum muslimin, bisa jadi karena tampak, atau bisa jadi juga catatannya lengkap. Catatan histori neraca tahun-tahun sebelumnya.
Mengajak muslimin sadar zakat,
Harus dimulai dengan mengajak kaum muslimin sadar harta.
Agar mudah sadar harta, maka muslimin harus diajak sadar angka, sadar literasi keuangan, sadar neraca, sadar score board.
InsyaAllah, kerja panjang menguatkan pemahaman ekonomi ummat. Sabar-sabar kita semua.
MasyaAllah Tabarakallah,